PEREKONOMIAN INDONESIA DI ERA REFORMASI
NPM : 27211949
KELAS : 1EB23
KELOMPOK : 6
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Pada awal bulan Maret 1998 melalui Sidang Umum MPR, Soeharto terpilih kembali menjadi Presiden Republik Indonesia, serta melaksanakan pelantikan Kabinet Pembangunan VII. Namun pada saat itu semakin tidak kunjung membaik. Perekonomian mengalami kemerosotan dan masalah sosial semakin menumpuk. Kondisi dan situasi seperti ini mengundang keprihatinan rakyat.
Mamasuki bulan Mei 1998, para mahasiswa dari berbagai daerah mulai bergerak menggelar demonstrasi dan aksi keprihatinan yang menuntut turunnya Soeharto dari kursi kepresidenannya.
Pada tanggal 12 Mei 1998 dalam aksi unjuk rasa mahasiswa Universitas Trisakti, terjadi bentrokan dengan aparat keamanan yang menyebabkan tertembaknya empat mahasiswa hingga tewas, ke empat mahasiswa tersebut adalah Elang Mulya Lesmana, Hafidin Royan, Hendriawan Sie, dan Heri Hartanto.
Pada tanggal 19 Mei 1998 puluhan ribu mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta dan sekitarnya berhasil menduduki Gedung DPR/MPR. Pada tanggal itu pula di Yogyakarta terjadi peristiwa bersejarah. Kurang lebih sejuta umat manusia berkumpul di alun-alun utara kraton Yogyakarta untuk mendengarkan maklumat dari Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paku Alam VII. Inti isi dari maklumat itu adalah menganjurkan kepada seluruh masyarakat untuk menggalang persatuan dan kesatuan bangsa.
Pada tanggal 20 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundang tokoh-tokoh bangsa Indonesia untuk dimintai pertimbangannya membentuk Dewan Reformasi yang akan diketuai oleh Presiden Soeharto, namun mengalami kegagalan.
Pada tanggal 21 Mei 1998, pukul 10.00 WIB bertempat di Istana Negara, Presiden Soeharto meletakkan jabatannya sebagai presiden di hadapan ketua dan beberapa anggota dari Mahkamah Agung. Presiden menunjuk Wakil Presiden B.J. Habibie untuk menggantikannya menjadi presiden, serta pelantikannya dilakukan di depan Ketua Mahkamah Agung dan para anggotanya. Maka sejak saat itu, Presiden Republik Indonesia dijabat oleh B.J. Habibie sebagai presiden yang ke-3.
1.2 Rumusan Masalah
. Bagaimanakah perekonomian Indonesia pada saat peristiwa reformasi ?
. Bagaimanakah dampak reformasi pada saat tersebut ?
1.3 Tujuan Masalah
. Untuk mengetahui bagaimana perekonomian pada saat itu.
. Untuk mengetahui kondisi sosial maupun dampak reformasi tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1 Krisis Multidimensi dan Munculnya Reformasi
Pada pertengahan tahun 1997, krisis moneter melanda negara-negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Krisis moneter di Indonesia dimulai dengan menurunnya nilai tukar rupiah. Hal itu memicu penurunan produktivitas ekonomi serta munculnya disfungsi institusi ekonomi dalam mengatasi krisis tersebut. Kelompok masyarakat yang kritis melihat bahwa krisis ini merupakan kesalahan Orde Baru yang di nilai tidak baik dalam mengurus pemerintahan. Hal ini kemudian mengarah pada munculnya krisis legitimasi kepercayaan atas pemerintahan Orde Baru. Masyarakat kampus yang terdiri atas para mahasiswa, dosen, dan rektor mulai menyuarakan pendapatnya melalui berbagai media, baik itu seminar, diskusi, mimbar bebas hingga aksi demonstrasi. Permasalahan krisis kepercayaan terhadap pemerintahan Orde Baru makin meningkat dengan di angkatnya kembali Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia. Berbagai peristiwa bentrokan antara kelompok mahasiswa dan tentara serta kelompok pendukung Soeharto pun mulai bermunculan.
Krisis multidimensi yang melanda Indonesia dalam kurun waktu tahun 1997-1998 memberikan akses yang besar terhadap dinamika kehidupan ekonomi, politik, dan sosial bangsa. Dimulai dari krisis ekonomi yang menghantam Indonesia pada tahun 1997, efek domino pun langsung mendera masyarakat Indonesia di berbagai lini. Penurunan tingkat daya beli, munculnya krisis sosial, dan meningkatnya pengangguran karena PHK menjadi permasalahan sosial yang krusial. Krisis politik, krisis sosial, dan krisis legitimasi atas pemerintahan Orde Baru kemudian bermunculan sebagai reaksi utama.
Berbagai krisis yang melanda Indonesia ini juga dihiasi oleh berbagai peristiwa berdarah dan politis di dalamnya. Krisis demi krisis yang harus di hadapi oleh Indonesia pada kurun waktu 1997-1998 membuat Indonesia tersadar. Proses nation-state building yang harus di lakukan oleh Indonesia selepas masa pemerintahan Presiden Soeharto pada 1996, ternyata baru memasuki tahapan permulaannya. Berbagai manuver politik dan aksi demonstrasi mahasiswa pun mewarnai berbagai peristiwa pada kurun waktu awal bergulirnya gerakan reformasi yang di perakarsai oleh mahasiswa dan beberapa tokoh masyarakat di tahun 1998.
a . Krisis Ekonomi
Krisis Ekonomi yang melanda Indonesia pada 1997 merupakan sebuah efek domino dari krisis ekonomi Asia yang melanda berbagai negara, seperti Thailand, Filipina, dan Malaysia. Disebabkan oleh adanya fundamen ekonomi yang lemah, Indonesia mengalami kesulitan dalam menata ulang kembali perekonomiannya untuk keluar dari krisis.
Perkembangan ekonomi Indonesia telah mengalami stagnansi sejak tahun 1990-an. Saat itu, sistem neoliberalisme menjadi norma pengaturan ekonomi dan politik dunia. Barang-barang produksi Indonesia menjadi tidak berdaya saing apabila dibandingkan dengan barang luar negri yang secara bebas memasuki pasaran Indonesia. Berdasarkan batasan-batasan yang telah dicanangkan oleh bank dunia, pembangunan ekonomi tergolong berhasil jika memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh bank dunia. Syarat-syarat tersebut diantaranya adalah adanya peningkatan investasi dibidang pendidikan, yang ditandai dengan peningkatan sumber daya manusia, rendahnya tingkat korupsi yang ada di tataran pemerintahan, dan adanya stabilitas dan kredibilitas politik.
Syarat-syarat yang dikemukakan oleh bank dunia itu semacam acuan bagian negara-negara berkembang dalam melakukan pembangunan ekonomi, khususnya negara penerima bantuan luar negri seperti Indonesia. Akan tetapi, pada krisis 1997, kondisi ekonomi Indonesia tidak merepresentasikan satupun kriteria-kriteria yang telah ditetapkan oleh bank dunia tersebut. Hal yang terjadi di Indonesia justru adanya krisis moneter yang ditandai dengan rendahnya mutu sumber daya manusia, tingginya tingkat produksi di instansi-instansi pemerintah, dan kondisi instabilitas politik. Perekonomian Indonesia mengalami penurunan hingga mencapai 0% tahun 1998.
Kemerosotan ekonomi Indonesia ternyata tidak ditanggapi oleh presiden Soeharto dengan membuat perbaikan dalam hal kebijakan ekonomi, tetapi justru dengan meminta bantuan dana Monitari Fund (IMF). Pada 15 januari 1988, presiden Soeharto menandatangani 50 butir letter of intent (Lol) dengan dilaksanakannya oleh direktur IMF Asia, Michael Camdessus, sebagai sebuah syarat untuk mendapatkan kucuran dana bantuan luar negri tersebut.
Dengan merujuk pada batasan tingkat keberasilan ekonomi suatu bangsa yang dikeluarkan oleh bank dunia, maka dapat disimpulkan bahwa perekonomian Indonesia tahun 1997/1998 telah mengalami kehancuran. Dalam hal investasi dan peningkatan modal, Indonesia mengalami kemunduran yang tajam. Pada investor luar negri beramai-ramai memindahkan modalnya kenegara lain karena tidak adanya stabilitas dan kredibilitas politik dalam negri. Angka ekspor-impor Indonesia menurun drastis karena sektor usaha tidak dipercaya oleh perbankan Indonesia. Tingginya tingkat korupsi ditataran sektor ekonomi dan pemerintahan dan munculnya kasus kredit macet yang melanda bank-bank utama di Indonesia mengakibatkan pembayaran letter of credit (L/C) dari sektor-sektor usaha Indonesia tidak diterima diluar negri. Penanggahan krisis ekonomi Indonesia di tahun 1997/1998 berujung pada munculnya krisis multidimensi, baik itu politik dan sosial, maupun krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan.
b . Krisis Sosial
Pada masa akhir pemerintahan Orde Baru, Indonesia mengalami gejolak politik yang tinggi, baik di tataran pemerintahan maupun di tingkat pergerakan rakyat dan mahasiswa. Suhu politik di tataran elite yang makin memanas menimbulkan berbagai potensi perpecahan sosial di masyarakat.
Terdapat dua jenis aspirasi di masyarakat, mendukung Soeharto atau menuntutnya agar turun dari kursi kepresidenan. Kelompok masyarakat yang menuntut Presiden Soeharto mundur dari pemerintahan diwakili oleh mahasiswa. Kelompok ini memiliki cita-cita reformasi terhadap Indonesia. Organisasi pada jalur ini, diantaranya Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan Forum Kota (Forkot). Meskipun kedua organisasi mahasiswa tersebut memiliki napas perjuangan yang berbeda, tetapi tetap memiliki tujuan yang sama, yakni menurunkan Soeharto dari kursi kepresidenan, menghapus Dwi Fungsi ABRI, dan mewujudkan reformasi Indonesia secara optimal.
Sementara itu, krisis sosial horizontal di Indonesia juga mengalami titik puncak. Kondisi kehidupan masyarakat yang sangat sulit, ditambah dengan angka pengangguran yang tinggi, menyebabkan berbagai benturan sosial. Kerusuhan sistematis yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia pada 13-14 Mei 1998 menjadi bukti dari adanya pergesekan sosial antar masyarakat.
Munculnya berbagai kerusuhan sosial horizontal ini merupakan implikasi dari kebijakan ekonomi sentralistik yang menimbulkan jurang pemisah kesejahteraan yang begitu tinggi anatara pusat dan daerah. Pola transmigrasi yang diterapkan oleh pemerintah tidak diiringi dengan penanganan solidaritas sosial di daerah tujuan. Pada akhirnya, kecemburuan sosial akibat adanya disparitas tingkat perekonomian tersebut tidak dapat dihindarkan. Kondisi inilah yang kemudian memicu tuntutan kepada pemerintah pusat untuk mereformasi pola pembangunan ekonomi. Tuntutan inilah yang memunculkan kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya reformasi bagi kehidupan bangsa.
c . Krisis Politik
Pemerintah Orde Baru menerapkan Demokrasi Pancasila sebagai asas negara Indonesia. Dengan dilandasi oleh sistem demokrasi yang “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” yang diwakili oleh MPR dan DPR, pemerintah Orde Baru membangun pondasi dasar kehidupan bernegara Indonesia.
Akan tetapi, terdapat berbagai penyelewengan dalam pelaksanaan sistem demokrasi tersebut. MPR dan DPR hanya menindaklanjuti aspirasi berbagai kelompok masyarakat saja. Proses aspirasi politik ke pemerintahan tidak terdistribusi secara sempurna. Dengan demikian, proses penyaluran aspirasi pun menjadi terhambat. Segala peraturan yang dibentuk oleh MPR/DPR pada prinsipnya tidak berorientasi jangka panjang, melainkan semata-mata bertujuan untuk memnuhi keinginan dan kepentingan para oknum-oknum tertentu.
Selain itu, budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) telah mengakar kuat di dalam tubuh birokrasi pemerintahan. Dengan demikian, proses pengawasan dan pemberian mandataris kepemimpinan antara DPR dan MPR dengan presiden menjadi tidak sempurna karena adanya ikatan KKN tersebut. Unsur legislatif yang sejatinya dilaksanakan oleh MPR dan DPR dalam membuat dasar-dasar hukum dan haluan negara menjadi sepenuhnya dilakukan oleh Presiden Soeharto. Akibatnya, suksesi politik pemerintahan menjadi tidak terlaksana dengan baik. Kondisi ini memicu munculnya kondisi status quo yang berakibat pada munculnya krisis politik, baik itu dalam tataran elite politik maupun masyarakat yang mulai mempertanyakan legitimasi pemerintahan Orde Baru.
Menanggapi kondisi perekonomian yang semakin parah, mahasiswa bersama elemen-elemen masyarakat pun mulai bergerak untuk turun ke jalan berdemonstrasi menuntut penurunan harga. Bergai aksi-aksi yang di gelar mahasiswa berserta elemen masyrakat mulai bermunculan sejak bulan februari 1998, dan mencapai puncaknya pada Mei 1998. Pada 12 Mei 1998, berbagai elemen mahasiswa menggelar aksi demonstrasi damai menuntut penurunan harga di jakarta. Di Universitas Trisakti, aksi demonstrasi damai pun terjadi. Situasi aksi damai pada hari itu berjalan dengan sangat tertib. Akan tetapi, situasi kemudian memanas suatu hari menjelang sore. Mahasiswa yang ingin melakukan long march menuju DPR/MPR tidak di perbolehkan berjalan lebih jauh oleh para petugas. Mereka di berhentikan tidak jauh dari pintu kampus Trisakti. Bentrokkan pun tidak terhindarkan. Di dalam insiden bentrokan ini, empat mahasiswa tewas dan puluhan mengalami luka serius.
Ke empat mahasiswa tersebut adalah
Elang Mulya Lesmana, Hafidin Royan, Hendriawan Sie, dan Heri Hartanto. Mereka kemudian di beri gelar sebagai pahlawan reformasi. Aksi penembakan terhadap empat mahasiswa ini mengundang berbagai reaksi keras dari masyarakat dan elemen mahasiswa di berbagai daerah. Sebelumnya, seorang mahasiswa dari Yogyakarta, yang bernama Moses Gatotkaca, juga tewas dalam sebuah bentrokan dengan aparat keamanan sewaktu melakukan aksi menuntut mundurnya Presiden Soeharto. Moses Gatotkaca meninggal pada 8 Mei 1998.
Pada 13 dan 14 Mei 1998, kerusuhan pun pecah di Jakarta dan kota besar lainnya. Terjadi kerusuhan 13 dan 14 Mei 1998 ini merupakan titik kulminasi depresi masyarakat akibat krisis ekonomi Indonesia. Krisis sosial dan masyarakat pun mulai bermunculan seiring dengan adanya gesekan sosial tersebut.
Suasana Jakarta yang sangat tegang pasca tragedi kerusuhan 13 dan 14 Mei 1998 ini terus berlangsung hingga di gelarnya aksi demonstrasi besar-besaran oleh para mahasiswa pada tanggal 19 Mei 1998.
Secara berbondong-bondong
para mahasiswa yang berasal dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta dan kota-kota lainnya melakukan long march menuju gedung MPR/DPR tujuannya adalah menuntut turunnya Presiden Soeharto, menggelar sidang istimewa MPR, dan pelaksanaan reformasi total dalam tubuh pemerintahan negara. Selain di Jakarta, di hari yang sama aksi serupa juga terjadi di Yogyakarta. Di kota ini, mahasiswa bersama elemen-elemen masyarakat Yogyakarta berkumpul di alun-alun kota. Mereka ingin mendengar maklumat dari Sri Sultan Hamengkubuwono dan Sri Paku Alam mengenai kondisi negara yang sedang tegang.
Pada tanggal yang sama, yaitu 19 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundang tokoh masyarakat untuk datang ke Istana Negara. Agendanya adalah membahas segala kemungkinan penanganan krisis negara. Tokoh-tokoh yang diundang berjumlah 9 orang. Mereka adalah Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, Emha Ainun Nadjib, Ali Yafie, Malik Fadjar, Cholil Baidlowi, Sutrisno Muhdam, Ma’aruf Amin dan Ahmad Bagdja. Selain itu, hadir pula Yuhsril Ihza Mahendra, Sekretaris Militer Presiden Majen Jasril Jakub, dan ajudan Presiden. Di dalam pertemuan ini, tercapai kesepakatan untuk membentuk suatu badan yang dinamakan Komite Reformasi. Di dalam pertemuan ini, juga disepakati bahwa Presiden Soeharto akan melakukan reshuffle Kabinet Pembangunan VI, dan mengubah nama susunan kabinet tersebut menjadi Kabinet Reformasi. Tugas dari Komite Reformasi adalah untuk menyelesaikan UU Kepartaian, UU Pemilu, UU Susunan, dan Kedudukan MPR/DPR serta DPRD, UU Anti-Monopoli, UU Anti-Korupsi, dan lainnya.
Pada 20 Mei 1998, suasana di gedung MPR/DPR telah penuh sesak oleh mahasiswa. Berbagai elemen mahasiswa yang berasal dari perguruan-perguruan tinggi di Indonesia berkumpul bersama. Di sisi lain, berbagai tokoh masyarakat seperti Amien Rais dan Emil Salim menyatakan kekecewaannya dengan keputusan Presiden Soeharto tersebut. Penyebabnya adalah Presiden Soeharto meminta pembelian waktu enam bulan untuk menggelar Pemilihan Umum secara konstitusional. Akan tetapi, hal tersebut tidak dinyatakan di dalam keputusan beliau selepas pertemuan itu selesai. Di sisi lain, berbagai kelompok masyarakat, khususnya mahasiswa, menuntut turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan. Emil Salim, melalui Gema Madani menyerukan agar Presiden Soeharto melaksanakan niatnya untuk lengser keprabon (turun dari tahta kekuasaan) pada saat itu juga (20 Mei 1998), Amien Rais juga berada dalam posisi yang sama. Ia menginginkan reformasi di laksanakan secepatnya.
Kekuatan mahasiswa makin menguat dan solid di gedung MPR/DPR. Mahasiswa pun melaksanakan aksi memperingati Hari Kebangkitan Nasional di halaman gedung MPR/DPR. Aksi tanggal 20 Mei 1998 ini di hadiri oleh berbagai tokoh masyarakat. Pada pukul 11.30, Amien Rais datang ke gedung MPR/DPR. Hadir pula tokoh-tokoh masyarakat, seperti Deliar Noer, Emil Salim, Erna Witoelar, Albert Hasibuan, Saparinas Sadli, Norsyahbani Katjasumkana, A.M. Fatwa, Adnan Buyung Nasution, Permadi, Matori Abdul Djalil, dan Wimar Witoelar. Bahkan, tokoh-tokoh seni Indonesia pun hadir, seperti Dono Wakop, Garin Nugroho, dan Neno Warisman. Aksi ini secara seporadis memunculkan dukungan moral dari seluruh elemen bangsa. Bahkan, sumbangan-sumbangan nasi bungkus dan air minum dari berbagai kalangan kepada mahasiswa yang sedang berdemo di gedung MPR/DPR pun terus berdatangan. Hari ini merupakan simbol bahwa perjuangan mahasiswa pada saat itu secara moral telah berhasil memunculkan solidaritas di kalangan masyarakat. Pada tanggal ini pula (20 Mei 1998), Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Madeleine Albright, secara nyata memberikan pernyataannya yang meminta Presiden Soeharto untuk segera mundur. Ia menyatakan bahwa pengunduran diri Presiden Soeharto sudah semestinya di lakukan untuk memberi jalan bagi transisi demokrasi di Indonesia. Ia menegaskan bahwa kesempatan ini merupakan momentum bagi Presiden Soeharto untuk menorehkan historisnya sebagai negarawan.
Pada pukul 14.30, sejumlah 14 menteri yang berada di bawah koordinasi Menko Ekuin, Ginandjar Kartasasmita, menyatakan penolakannya untuk dicalonkan kembali di dalam Kabinet Reformasi. Mahasiswa secara bersama masih terus melakukan aksinya di gedung MPR/DPR. Pada pukul 16.45, terjadi pertemuan antara perwakilan mahasiswa dengan pimpinan MPR/DPR di lantai 3 gedung lama MPR/DPR. Di dalam pertemuan ini, mahasiswa memberikan batas waktu pengunduran diri Soeharto hingga hari Jum’at, 22 Mei 1998. Apabila tidak ada kepastian lebih lanjut, maka hari Senen, 25 Mei 1998 pimpinan DPR akan mempersiapkan Sidang Istimewa MPR.
Aksi di gedung MPR/DPR
mencapai puncaknya pada 21 Mei 1998. Pada pukul 9.06 WIB, Soharto mengumumkan pengunduran dirinya dari posisi Presiden Republik Indonesia. Bertempat di Credential Room, Istana Negara Jakarta, dengan di saksikan oleh Ketua Mahkamah Agung, Soeharto mengakhiri jabatannya sebagai Presiden yang telah diemban selama 32 tahun. Naskah pengunduran dirinya berjudul “Pernyataan Berhenti sebagai Presiden RI”, yang ditulis oleh Yusril Ihza Mahendra. Setelah pengunduran diri Soeharto, Mahkamah Agung langsung melantik Wakil Presiden Baharuddin Jusuf Habibie sebagai Presiden Republik Indonesia yang baru. Hal ini sesuai dengan amanat di dalam Pasal 30 UUD 1945 yang berbunyi : “Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia di ganti oleh wakil presiden sampai habis masa jabatannya”.
2.2 Dampak Reformasi
1. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945
Perubahan (Amandemen) terhadap UUD 1945 merupakan salah satu tuntutan dari reformasi. Tuntutan perubahan terhadap UUD 1945 itu pada hakikatnya merupakan tuntutan bagi adanya penataan ulang terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Tuntutan perubahan UUD 1945 dilatarbelakangi antara lain karena sistem perwakilan masa Orde Baru yang bersifat semu dan pada kenyataannya kekuasaan yang besar berada pada presiden, adanya pasal-pasal yang menimbulkan multitafsir, serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat peyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Perubahan UUD 1945 bertujuan untuk menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 disertai kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensil. Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen) yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR yaitu sebagai berikut :
a. Perubahan Pertama UUD 1945 dilaksanakan dalam sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999.
b. Perubahan Kedua UUD 1945 dilaksanakan dalam sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000.
c. Perubahan Ketiga UUD 1945 dilaksanakan dalam sidang Tahunan MPR 1999, tanggal 1-9 November 2001.
d. Perubahan Keempat UUD 1945 dilaksanakan dalam sidang Tahunan MPR 1999, tanggal 1-11 Agustus 2002.
Perubahan terhadap UUD 1945 telah menghasilkan beberapa ketentuan baru dalam penyelenggaraan negara. Hasil amandemen tersebut antara lain memuat aturan tentang mekanisme pemilihan presiden, dengan adanya pemilihan presiden secara langsung dan pembatasan masa jabatan presiden.
2. Kebebasan Pers
Pada masa Orde Baru kebebasan pers sangat dibatasi oleh pemerintah. Setiap isi berita yang disajikan tidak boleh bertentangan dengan pemerintah. Pada saat itu kebebasan pers cenderung untuk memperkuat status quo, daripada membangun keseimbangan antarfungsi eksekutif, legislatif, yudikatif, dan kontrol politik.
Adanya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) sesuai dengan Permenpen 01/1984 Pasal 33h merupakan salah satu contoh pembatasan kebebasan pers. Dengan definisi “pers yang bebas dan bertanggung jawab”. SIUPP merupakan lembaga yang menerbitkan pers dan pembredelan. Media massa yang memuat berita yang mengkritisi pemerintah tidak luput dari pembredelan seperti yang dialami Tempo, Detik, Editor pada tahun 1994. Pembredelan merupakan sebuah tindakan otoriter pemerintah Orde Baru yang menekan kebebasan pers. Hal itu mengisyaratkan ketidakmampuan sistem hukum pers yang bebas dan bertanggung jawab secara hukum.
Setelah jatuhnya pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998, kebebasan pers mengalami masa pencerahan. Tumbuhnya pers pada masa reformasi merupakan hal yang menguntungkan bagi masyarakat. Kehadiran pers saat ini dianggap sudah mampu mengisi kekosongan ruang publik yang menjadi celah antara penguasa dan rakyat. Dalam kerangka ini, pers telah memainkan peran sentral dengan memberikan dan menyebarluaskan informasi untuk penentuan sikap, dan memfasilitasi pembentukan opini public dalam rangka mencapai konsensus bersama atau mengontrol kekuasaan penyelenggara negara.
Perubahan yang luar biasa dalam mengekspresikan kebebasan dirasakan dalam kehidupan pers di era reformasi. Fenomena itu ditandai dengan munculnya media-media baru, baik media cetak maupun elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen. Keberanian pers dalam mengkritik kebijakan pemerintah juga mencari ciri baru pers Indonesia.
3. Restukturisasi ABRI
Sejak reformasi bergulir tahun 1998, ABRI menjadi salah satu institusi yang dipandang perlu direformasi. Masyarakat menilai perlu adanya perubahan bagi ABRI dalam tataran sikap dan tindakan. Selama masa Orde Baru ABRI memiliki kecenderungan menempatkan diri sebagai “mesin politik” untuk menegakkan kekuasaan Orde Baru.
Tuntutan perubahan pada ABRI berujung pada tuntutan penghapusan Dwi Fungsi ABRI. Dwi Fungsi ABRI telah membawa konsekuensi panjang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara selama masa Orde Baru. Dengan dalih menjalankan fungsi sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan serta kelangsungan pemerintahan.
Tuntutan reformasi dalam tubuh ABRI diakomodasi dengan mengadakan perubahan structural ABRI, yaitu antara lain sebagai berikut :
a. Pemisahan POLRI dan TNI yang semula bersama-sama tergabung dalam ABRI.
b. Pemisahan TNI dan POLRI tersebut juga berakibat pada perubahan Dephankam menjadi Dephan.
c. Penghapusan Dwi Fungsi ABRI, likuidasi fungsi kekaryaan serta sosial politik TNI, penghapusan keberadaan Fraksi TNI/POLRI, serta perubahan doktrin dan organisasi TNI.
Sejak penghapusan Dwi Fungsi ABRI dan diikuti wacana kembalinya lembaga TNI ke barak serta dipisahkannya TNI dengan POLRI, member harapan baru bagi proses demokratisasi serta mengobati kekecewaan panjang rakyat terhadap posisi ABRI yang kini menjadi TNI.
4. Otonomi Daerah
Era reformasi ditandai oleh bangkitnya demokrasi peran pemerintah pusat yang besar serta menjadi titik sentral yang menentukan gerak kehidupan daerah, harus segera diakhiri. Oleh karena itu, lahirlah UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dah Daerah. Undang-undang ini memberikan masyarakat setempat, sesuai dengan prakarsa, aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.
Seiring dengan perjalanan waktu, kebijakan tersebut banyak menuai persoalan. Persoalan-persoalan yang muncul antara lain masalah koordinasi antar daerah otonom tingkat provinsidan kabupaten, munculnya “raja-raja kecil” di daerah yang cenderung mengabaikan nilai etik dalam berpolitik, sulitnya pengawasan daerah otonom dan lain sebagainya.
Pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan baru mengenai Otonomi Daerah, yakni dengan pemberlakuan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintahan Pusat dan Daerah. Semangat yang terkandung dalam Undang-Undang tersebut tidak ditujukan untuk melakukan “resentralisasi” atas apa yang telah didesentralisasikan, namun lebih ditujukan untuk mengurangi dampak negatif dan menambah manfaat positif dari otonomi daerah sebagai salah satu agenda utama reformasi.
5. Munculnya Eurofia Kebebasan
Era reformasi adalah era keterbukaan untuk menyampaikan aspirasi dan pendapat terhadap perkembangan politik maupun kritik terhadap kinerja aparatur negara. Orde reformasi telah memberi peluang yang besar bagi masyarakat untuk ikut serta dalam memberikan tanggapan kritik terhadap pemerintah. Hal ini disebabkan, karena tidak ada lagi sistem yang mengekang kebebasan berpendapat dan berbicara, baik secara represif maupun preventif seperti halnya dalam masa Pemerintahan Orde Baru. Dengan adanya era keterbukaan dan kebebasan tersebut telah berdampak pada munculnya aksi-aksi unjuk rasa terhadap kinerja pemerintah.
Pada awal reformasi, setiap hari hampir terjadi unjuk rasa. Unjuk rasa itu ditujukan bukan hanya kepada pemerintah namun juga instansi lainnya yang dianggap tidak dapat dipercaya dan merugikan kepentingan masyarakat. Namun, disinyalir ada sebagian dari aksi-aksi tidak murni dilakukan oleh pengunjuk rasa, melainkan hanya merupakan aksi yang mengemban kepentingan-kepentingan kelompok tertentu. Di antara para pengunjuk rasa tersebut adalah orang-orang bayaran yang pada umumnya pengangguran yang jumlahnya semakin meningkat akibat badai krisis moneter yang melanda Indonesia.
Reformasi sebagai era keterbukaan banyak dimaknai oleh masyarakat sebagai kebebasan yang berlebihan. Masyarakat terjebak oleh euforia kebebasan yang telah menimbulkan bahaya disintegrasi nasional dan sosial. Konflik-konflik di Ambon, Poso, Sanbas, dan Sampit merupakan contoh gejolak sosial di daerah yang dapat menimbulkan disintegrasi nasional dan sosial.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Keadaan sistem ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan reformasi memiliki karakteristik sebagai berikut:
Ï Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kondisi perekonomian Indonesia mulai mengarah pada perbaikan, di antaranya pertumbuhan PDB yang mulai positif, laju inflasi dan tingkat suku bunga yang rendah, sehingga kondisi moneter dalam negeri juga sudah mulai stabil.
Ï Hubungan pemerintah dibawah pimpinan Abdurahman Wahid dengan IMF juga kurang baik, yang dikarenakan masalah, seperti Amandemen UU No.23 tahun 1999 mengenai bank Indonesai, penerapan otonomi daerah (kebebasan daerah untuk pinjam uang dari luar negeri) dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda.
Ï Politik dan sosial yang tidak stabil semakin parah yang membuat investor asing menjadi enggan untuk menanamkan modal di Indonesia.
Ï Makin rumitnya persoalan ekonomi ditandai lagi dengan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang cenderung negatif, bahkan merosot hingga 300 poin, dikarenakan lebih banyaknya kegiatan penjualan daripada kegiatan pembelian dalam perdagangan saham di dalam negeri.
DAFTAR PUSTAKA
1 http://iadiasyamsi.blogspot.com/2011/06/perkembangan-politik-dan-ekonomi pada.html2. * Magdalia Alfian, Nana Nurliana Soeyono dan Sudarini Suhartono. 2003. Sejarah untuk
SMA dan MA Kelas XII Program IPA. Jakarta: Erlangga.
3. * M. Habib Mustopo dkk. 2011. Sejarah 3 Untuk Kelas XII SMA Program IPA. Jakarta:
Yudistira.
4. http://candygloria.wordpress.com/2011/02/18/sejarah-sistem-perekonomian-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar